MELAWAN KEMAPANAN DENGAN “LOWRIDER”
Peserta memoles sepedanya saat mengikuti
Low Rider and Bicycle Custom Contest di ajang UrbanFest 2009 yang
digelar di Pasar Seni Ancol, Jakarta, Minggu (25/10). UrbanFest
merupakan ajang unjuk kreativitas anak muda dari berbagai komunitas
budaya urban.
KOMPAS.com - Rambut
gondrong dan gimbal. Puluhan ukiran tulang dan kayu menggantung di
leher. Berkaus oblong putih dan bersandal jepit. Wempi Sarana (27) mudah
dikenali dari sosoknya. Dan penampilan yang khas itu semakin lengkap
kala dia naik tunggangannya, sepeda lowrider warna merah.
Dia tak memiliki telepon genggam.
Pekerjaannya menjual barang-barang pos dan meterai di depan Kantor Pos
Besar Solo, Jawa Tengah. Namun, jika ditanya dia akan menjawab
pekerjaannya hanyalah bermain-main. ”Dolanan saja,” kata dia. Pemuda
asli Wonosaren, Jagalan, Solo, Jawa Tengah, ini berprinsip bahwa hidup
adalah untuk dinikmati.
Prinsip ini diakuinya menentang arus. Pada dasarnya, sepeda lowrider juga muncul dari kritik terhadap kemapanan.
Dimulai di Amerika Serikat
Sejarah sepeda lowrider dimulai
dari Amerika Serikat pada 1960-an. ”Awalnya ada seorang ahli modifikasi
kendaraan, George Barris,” kata Dedy ”Hedot” Supanto, anggota Jakarta
Street Lowrider (JSL).
Pekerjaan George Barris sehari-hari adalah menceperkan (membuat rendah) mobil. Saat itu mobil lowrider
sedang ”mewabah” di kalangan anak muda Amerika. Tetapi, tren itu hanya
bisa dinikmati anak-anak muda dari keluarga kaya karena untuk membuat
sebuah mobil lowrider dibutuhkan banyak uang. Sedangkan anak-anak dari kalangan bawah hanya bisa melongo.
Melihat situasi seperti itu, George mendapat ide untuk membangun sepeda lowrider. Dia bereksperimen pertama kali pada sepedanya. Lalu segera saja disambut anak-anak muda, khususnya kalangan tak berpunya.
Melihat peluang sepeda lowrider
mulai digandrungi, pada tahun 1963 pabrik sepeda Schwiin juga terjun ke
bisnis ini. Untuk pertama kalinya mereka mengeluarkan model baru sepeda lowrider ”New Cruiser Sting Ray”. Desainnya dibuat mengacu pada model motor model dragster yang sedang ngetop. Model ini masih sering menjadi acuan sepeda lowrider hingga kini.
Selain itu, menurut Hedot, satu karakter sepeda lowrider
adalah modifikasi pada jok berbentuk panjang atau banana seat, memiliki
tiang penyangga jok, dan setang yang menjulang panjang ke atas (apehangers) seperti gelantungan monyet.
Walaupun di Amerika Serikat sepeda lowrider
sudah menjadi tren sejak lama, di Indonesia baru marak bersamaan dengan
meledaknya minat masyarakat bersepeda. Peminat komunitas ini biasanya
anak-anak muda gaul dan melek mode. Kini, komunitas lowrider tumbuh di banyak kota, seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Semarang, hingga keluar Jawa.
Kalau ontel semakin kuno semakin bagus, maka lowrider ini makin ngejreng makin asyik. Jika sepeda gunung makin kuat makin baik dan sepeda balap makin ringan makin asyik, maka lowrider menentang prinsip itu.
Lowrider yang bentuknya makin unik dipandang makin bergaya. Warna-warni kinclong seperti chrome
mendominasi hampir setiap bagian dan pernik-pernik sepeda jenis ini.
Beberapa penggunanya menambahkan lampu-lampu di jeruji sehingga begitu
meriah. Karakter klasik sepeda lowrider adalah baby daytons, yaitu desain pelek seperti pelek mobil yang jari-jarinya penuh dan tidak saling menyilang serta ban yang berdinding putih.
Ajang Kreativitas
Walaupun ada beberapa ciri khas, sebenarnya tak ada pakem baku untuk mendesain lowrider. Agus Furidas (27), pemilik bengkel sepeda lowrider Furidas di Solo, mengatakan, ”Kita bebas berekspresi dengan sepeda lowrider. Yang jelas, kita kejar keunikan. Kalau perlu bikin onderdil sendiri.”
Agus melayani pembuatan sepeda lowrider
di Solo, bahkan juga sering melayani pesanan dari kota lain. ”Biasanya
pemesan bawa desain sendiri, tapi kadang ada juga yang terserah kami.
Semuanya bisa dibikin, kalau beli jadi di toko mahal,” kata dia.
Agus biasa mereka sendiri desain sepeda lowrider. ”Biasanya lihat gambar-gambar, atau sekadar coba-coba,” kata dia. Keanggotaannya dalam komunitas sepeda lowrider memudahkannya mengerti model yang lagi tren.
Sepeda lowrider memang lebih pada otak-atik masalah desain. ”Lowrider
bukan untuk kenyamanan berkendaraan atau olahraga bersepeda. Saya punya
satu di rumah, tetapi tak sanggup makainya jauh-jauh. Capek sekali
karena tidak proporsional. Sehari-hari akhirnya pakai sepeda balap,”
kata Cecep, pedagang sekaligus pesepeda asal Solo.
Yuli Nugroho (20), anggota komunitas lowrider
Solo, membenarkan hal ini. ”Ikut karena model sepedanya keren. Waktu
masih di STM (sekolah teknik menengah) gabung sama komunitas motor, tapi
boros. Akhirnya setelah kuliah ganti sepeda lowrider. Lebih murah, tapi asyik,” kata Yuli, yang bergabung dengan komunitas ini sejak 2007.
Dia mengaku mengendarai lowrider
melelahkan, terutama bagi yang belum terbiasa. ”Tapi terbayar dengan
kesenangan. Bangga bisa naik sepeda seperti ini, apalagi jika
orang-orang melihat sepeda kita sambil terheran-heran,” katanya.
Namun, Wempi mematahkan pemikiran bahwa lowrider tak nyaman dinaiki. Febuari 2010, dia naiki lowrider-nya seorang diri dari Solo ke Jakarta.
Bekalnya Rp 90.000, yang sudah habis ketika baru sampai di Bogor. ”Pulangnya naik kereta, diberi ongkos komunitas lowrider Jakarta,” katanya sambil terkekeh.
Wempi memang berusaha menafsirkan sendiri arus lowrider, yang dalam perspektifnya menjadi terlalu ”Amerika”. Jika anggota komunitas lowrider biasanya adalah anak-anak muda pelajar, mahasiswa, hingga dosen-dosen yang sadar mode, Wempi adalah sosok lain dari lowrider, yang mewakili semangat kritik gerakan ini.
0 komentar:
Posting Komentar